Berpuasa di Media Sosial

Rabu, 8 Mei 2019 12:52 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selain berpantang makan dan minum, ada baiknya dipikirkan untuk menambah daftar pantangan yang menjadikan puasa tinggal menyisakan haus dan lapar belaka: tidak membuka media sosial.

Di hari-hari biasa, informasi yang berseliweran tiap detik seolah menawarkan bujukan untuk menengoknya: “Ayo baca, jangan cuma mengintip!” Bergosip, meledek, memviralkan keburukan dan musibah, mencaci, mengolok-olok, atau menertawakan ‘kebodohan’ dan ‘kesialan’ orang lain seakan jadi bagian hidup keseharian. Kita takut dianggap tidak gaul bila tidak ikut mengomentari atau setidaknya memviralkan sebuah kesialan orang.

Tapi sekarang Ramadhan, masihkah harus begitu? Bahkan di hari-hari biasapun, kita patut bertanya, mestikah begitu? Sebagai produk teknologi, media sosial kerap diibaratkan pisau bermata dua: yang satu ke kanan, yang satu lagi ke kiri; yang satu ke arah baik, yang satu lagi ke arah buruk. Ke arah manakah yang lebih kuat penggunaannya?

Sebagai manusia, kita dikreasi untuk cendurung baik, tapi beraneka godaan memang membujuk kita untuk berbelok atau bahkan berpaling sepenuhnya. Betapapun kita berusaha memakai medsos untuk tujuan baik, godaan untuk berpaling selalu saja menghampiri. Misalnya, kiriman video yang tiba-tiba hinggap di akun whatsapp kita, atau link berita yang tiba-tiba menyusup dan membujuk kita untuk mengkliknya.

Begitu mudah itu terjadi. Dengan sekali sentuhan klik, maka terbukalah hal-hal yang tidak selayaknya kita perlu tahu, oleh karena dapat membuat kita membicarakan keburukan orang lain, nyeletuk walau dalam hati padahal tak perlu, hingga memposting komentar yang ikut meriuhkan suasana—kita mungkin berpikir, ah kalau nambah satu komentar dari saya toh tidak akan ribut.

Media sosial, apapun aplikasinya, telah memengaruhi dan bahkan bagi sebagian orang telah mengubah perilaku dalam relasinya dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Kita lebih kerap asyik menatapi layar hape ketimbang berbicara dengan kawan yang duduk di sebelah. Kita lebih menanggapi kiriman gambar kawan yang jauh ketimbang mendengar keluhan teman yang ada di hadapan kita.

Medsos memang juga punya sisi baik, tentu saja. Sebagai sarana, medsos dapat mengantarkan hidangan yang lezat untuk ruhani, hati, maupun pikiran, bukan cuma yang mengotorinya. Di hari-hari Ramadhan yang baru mulai ini, beraneka hidangan spiritual bisa datang di hadapan kita kapan saja, tinggal kita mau mengklik atau mengabaikannya. Di saat haus dan lapar, godaan untuk mengabaikannya mungkin saja terasa begitu besar. Inilah tantangan tambahan bagi orang berpuasa di era media sosial.

Pintu-pintu masuk bagi apa saja yang bisa menurunkan spirit Ramadhan seakan terbuka semakin lebar, ya melalui pintu aplikasi media sosial. Di sisi lain, masuknya kebaikan juga bisa jadi semakin lebar. Tinggal kita mau mengklik yang mana, tapi berpuasa medsos boleh jadi lebih baik terutama jika kita merasa belum kuat menampik godaan untuk melakukan apa yang mungkin kita anggap kelaziman belaka di bulan lain, misalnya membicarakan keburukan orang lain.

Jadi, bukan hanya tidak makan dan minum serta meninggalkan hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa, tapi ada baiknya dipikirkan untuk menambah daftar pantangan itu satu lagi yang menjadikan puasa tinggal haus dan lapar belaka: tidak membuka media sosial [terutama jika tidak mampu membentengi diri dari membuka pintu-pintu gosip, cela, caci, maupun yang sejenis]. Sanggupkah?  >>>

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Urban

Lihat semua